Friday, June 23, 2006

Adikku Sayang Adikku Malang

Beberapa minggu ini, seringkali saya baca di internet dan saya lihat di televisi kisah-kisah anak manusia yang malang. Mereka bukan anak-anak bodoh. Di sekolahnya, peringkat kelas sudah menjadi rutinitas. Beasiswa untuk kuliah, PMDK, ataupun tawaran meneruskan ke luar negeri terhidang di depan mata. Tapi tiba-tiba semua itu hanya tinggal mimpi. Semuanya sirna karena nilai matematika UAN di bawah 4,26 padahal nilai lainnya (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) nyaris sempurna. Namun apa hendak dikata, semua telah terjadi dan sekarang mereka hanya bisa meratapi nasibnya. Sebagian yang masih memiliki sisa-sisa kekuatan (setelah habis untuk menutupi rasa malu) beramai-ramai menghadap ke KOMNASHAM untuk memperjuangkan haknya.

Entah kenapa? Tiba-tiba saja saya ingin menuliskan kisah ini. Padahal biasanya tidak ada minat dalam benak saya untuk menuangkan isi kepala sehubungan dengan isu-isu sosial yang terjadi di sekitar. Terungkit kembali memori beberapa tahun silam, ketika saya mengalami hal yang sama (mengerjakan EBTANAS). Di sekolah saya, memang semuanya tampak wajar. Paling hanya ada teman yang ngomel-ngomel mengeluarkan sumpah serapah setelah mengerjakan matematika. Tapi menurut cerita seorang rekan yang kebetulan beda sekolah, di sekolahnya sempat diwarnai dengan acara isak tangis murid-muridnya. Tapi kami beruntung, meskipun nilai kami hancur, kami semua masih bisa lulus karena belum ada syarat nilai kelulusan. Sepertinya hidup di jaman keemasan p*nc*s*l* memang lebih enak. Tapi apa kata rekan uyo nanti :p

Tidak ada orang yang mau menjadi orang yang sama di masa depan. Begitu juga pemerintah kita, dengan dalih untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas siswa-siswa sekolah, dibuatlah standar nilai kelulusan untuk tiga mata pelajaran. Bagus! Tujuannya memang bagus. Tapi entah kenapa tujuan yang mulia ini justru memporak-porandakan cita-cita yang telah dirangkai dengan manis oleh para siswa. Hancurnya masa depan itu, rasa malu itu, telah membuat mata hati sebagian siswa tertutup. Bunuh diri! Itu adalah salah satu solusi. Cara lain untuk melampiaskan kekesalan itu adalah dengan membakar sekolahnya sendiri, sekolah yang telah membakar hamparan impiannya.

Kematian dan penjara adalah efek dari standar nilai itu. Entah salah siapa? Nilai itu ternyata berimbas pada kehidupan seorang anak manusia. Standar terlalu tinggi? Cara mengajar yang salah? Sarana yang kurang mendukung? Lagi pula, sekarang mungkin bukan saat yang tepat untuk mencari-cari siapa yang salah. Apalagi ngomongin soal dosa siapa. Seperti kata seorang petinggi kita, "Soal dosa urusan saya dengan Tuhan". Entahlah... Saya hanya bisa berdoa semoga adik-adikku diberi ketabahan dan kesabaran.

Mungkin sekarang sudah saatnya seorang satpam juga harus memperhitungkan dengan matang apa yang akan dilakukan untuk melakukan pengamanan. Perhitungan yang eksak dengan menggunakan angka-angka yang pasti. Sehingga setiap satpam bisa melihat beberapa langkah ke depan untuk menjaga keamanan. Jadi, mereka harus lulus matematika sebelum menjadi satpam. Mungkin inilah jawaban dari pertanyaan seorang guru,
"Apa ingin jadi Satpam harus pandai Matematika? Kan tidak. Dia tidak lulus hanya gara-gara matematikanya jeblok. Coba bayangkan dia hanya ingin jadi satpam, karena kemampuan ekonominya tidak mampu untuk melanjutkan kuliah"

6 comments:

Anonymous said...

tulis dan lawan jeng,
tulis dan lawan !

Anonymous said...

This is very interesting site... Maximum dose of montelukast sodium in asthma Alverton coke ovens Soveriegn debt Car gps navigation portable system smoked lights for vw golf Latina valtrex Miscarriages on provigil

Anonymous said...

best regards, nice info » » »

Anonymous said...

You have great blog and this post is good!
---
best regards, Greg

Anonymous said...

If anyone here truly feels fiat currency is worthless then feel free to give me all your money.

Anonymous said...

I keep quoting these dead white guys for a reason. We seem to be repeating some particularly nasty history, right now.