Monday, June 26, 2006

Kontes Miss Waria

Tadi pagi saya melihat berita di Seputar Indonesia yang menurut saya cukup unik. Kontes Miss Waria di TMII. Dulu, kaum minoritas ini sangat 'malu-malu' dalam memperlihatkan eksistensi dirinya. Tapi entah kenapa, belakangan ini mereka mulai berani unjuk gigi. Demokrasi? Hak Asasi? Pengakuan masyarakat? Bisa jadi.

Sekarang saya bukan mau membicarakan soal kenapa mereka lebih berani. Apalagi soal kontes miss waria. Tentu saja, karena itu bukan bidang saya. Saya tidak memiliki kompetensi untuk melakukan penilaian terhadap kontes-kontes seperti itu. Tapi saya ingin menuliskan tentang keberadaan mereka di sekitar kita.

Dari acara-acara di tv yang pernah saya lihat, memang ada banyak sekali alasan yang melatarbelakangi keberadaan mereka. Ada yang bilang itu pilihan hidupnya. Ada yang bilang karena kecenderungan dari masa kecilnya. Ada yang bilang karena trauma. Dan masih banyak lagi alasan-alasan lain.

Tuhan telah membuat konsep yang jelas dalam menciptakan alam ini. Berpasang-pasangan! Ada lelaki, tentu ada wanita. Dan ketika manusia dilahirkan, kita memang tidak diberi kekuasaan untuk memilih, menjadi lelaki atau wanita. Manusia hanya diberi akal untuk memilih. Seiring perkembangannya, setelah bisa mempergunakan akal, manusia mulai bisa memilih. Dan celakanya (tapi benarkah ini suatu kecelakaan?), manusia juga merasa bebas memilih jenis kelamin yang sudah dibawa sejak lahir. Hingga muncullah para lelaki yang 'feminim' yang sekarang lazim kita sebut dengan waria. Tapi, benarkah ini suatu kebebasan? Bukankah Tuhan telah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan? Tunggu! Sekarang saya ingat satu hal. Dalam islam ada konsep imam-makmum ketika solat. Laki-laki bisa menjadi imam bagi semua orang. Waria bisa menjadi imam bagi waria dan wanita. Dan terakhir, wanita hanya bisa menjadi imam bagi wanita. Dari sini, waria sepertinya telah 'diakui' dalam agama sehingga muncullah konsep seperti itu. Tapi, bukankah kebebasan seperti itu katanya tergolong melawan takdir? Ah... Sudahlah! Saya bukan ulama yang bisa menjustifikasi suatu kasus. Itu keputusan mereka yang akan mereka tanggung sendiri suatu saat nanti. Dan keputusan saya adalah seperti kata samson, "Aku adalah lelaki yang tak pernah lelah mencari wanita. Naluriku sebagai lelaki membuatku ingin berjuta wanita di sisiku."

Sebagian dari kita mungkin 'kurang beruntung'. Masa kecilnya tidak seperti anak-anak lain yang sebaya. Yang lelaki bermain berlari-lari mengejar bola, naik pohon, hingga berpura-pura menjadi superhero seperti superman, batman, power ranger atau yang lainnya. Sementara yang wanita bermain dengan boneka-bonekanya, bersandiwara menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak-anaknya, atau menjadi ibu dokter yang merawat pasiennya. Namun ada sebagian yang memiliki kecenderungan berbeda. Mereka berlaku sebaliknya. Bagi yang 'lemah' dan hanya bisa mengikuti apa kata takdir, kecenderungan untuk tampil 'berbeda' terbawa sampai dewasa dan akhirnya sadar atau tidak akhirnya membawanya ke dunia yang berbeda pula. Mungkin kecenderungan tersebut bila diikuti dengan semangat juang yang tinggi sejak dini untuk berubah, bisa membuat dunia menjadi berubah pula. Tapi sekali lagi, mungkin itu akan terbentur pada pemikiran tentang takdir, "Untuk apa melawan rencana alam yang sudah menentukan seperti itu(kecenderungan dini)? Takdir tidak perlu dilawan".

Masa kecil memang dapat dibilang masa yang menentukan. Keluarga yang hancur di masa kecilnya, orang tua yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri, membuat masa kecil menjadi masa yang suram. Lihatlah bagaimana seorang kepala keluarga yang bertindak semena-mena terhadap istrinya di depan anak-anaknya. Kebiasaan seperti itu dapat menimbulkan trauma yang dahsyat bagi anak-anak. Dan cobalah ambil efek terburuk dari trauma tersebut. Seorang anak akan membenci kelakuan bapaknya, membenci bapaknya. Hingga akhirnya, dia tidak ingin menjadi seperti bapaknya, tidak ingin menjadi seorang lelaki. Wow! Inikah efek dari sebuah trauma masa kecil? Ini bukan cuma cerita atau skenario, tapi ada di acara tv tentang masa kecil seorang waria. Kisah nyata! Mungkin jiwa besarlah yang dapat menyelamatkan masa kecil dari trauma. Memaafkan orang lain dan kembali pada takdir bahwa kita manusia yang telah ditentukan (gendernya).

Takdir? Trauma? Semangat juang? Oh no... Mengapa hari ini saya banyak menuliskan soal takdir seolah saya satu-satunya orang yang tahu soal takdir. Saya juga bukan psikolog ataupun psikiater yang tahu banyak soal trauma, semangat hidup, atau kondisi kejiwaan seseorang. Saya menulis di sini semata-mata karena saya telah 'ditakdirkan' untuk menulis. Di blog ini!

Btw, ini hari pertama saya training SAP-functional. Inilah takdir saya. Dua bulan mengikuti training yang sudah ditentukan takdir. Saya hanya pengikut takdir yang tidak memiliki sedikitpun kemampuan untuk melawannya. Lagipula, takdir yang saya alami sekarang termasuk takdir yang ditunggu-tunggu sebagian orang. So, have a nice day... have a nice training...

No comments: