Tiap hari, jelajah motor gue hanya berkisar 20 km per hari kerja dan 100 km per weekend. Jarak tempuh terjauh sekali touring adalah Sunter - Depok - Bintaro - Cikokol - Sunter. Itupun di tempuh pada hari sabtu dan minggu, hehehe...
Melihat semakin banyaknya motor yang parkir ketika maen bola sabtuan, muncul keinginan untuk melakukan touring bersama. Tapi kayanya kok susah ya ngajak dan bikin rencana. Kapan ya orang-orang itu bisa touring bareng? Jadi makin pengen touring aja nih. Ayo dong... touring yuk.
Friday, April 27, 2007
Kapan Kawin
"Ringgo, kapan kawin?"
"Mmm... may. May be yes, may be no."
Itulah sepenggal dialog dalam sebuah iklan. Pasti kita sering melihatnya di stasiun-stasiun TV. Memang terdengar konyol, tapi menurut gue bener juga sih. Sapa yang menjamin bahwa kita bisa mencapai tahap perkawinan sebelum maut menjemput kita?
[konyol mode = on]
Orang bilang kawin itu enak soalnya membuat aliran keuangan menjadi lebih cermat.
Kalo gitu, sewa aja finance consultant, beres kan.
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang masakin.
Banyak kok tukang masak yang bisa disewa, makanannya pasti enak-enak.
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang nemenin kalo kita lagi sendirian ato mo jalan-jalan.
Telpon aja temen. Malah bisa ganti-ganti, nggak bosen kan?
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang ngurusin kalo lagi sakit.
Gitu aja kok repot, panggil aja dokter dan perawat pribadi.
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang bisa diajak berbagi suka dan duka.
Masa nggak punya temen sih? Kasian deh lo...
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang merindukan dan menanti.
Ngutang aja yang banyak, pasti bakalan banyak yang merindukan dan menanti.
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang dirindukan dan dinanti.
Makanya ngutangin orang lain yang banyak, biar ada yang kita rindukan dan kita tunggu.
Jadi... masih mikirin kawin?
[konyol mode = off]
Jadi... kapan kawin?
Ya tunggu nikah lah, hahaha... (berarti tulisan di atas banyak yang salah tulis tuh :p)
"Mmm... may. May be yes, may be no."
Itulah sepenggal dialog dalam sebuah iklan. Pasti kita sering melihatnya di stasiun-stasiun TV. Memang terdengar konyol, tapi menurut gue bener juga sih. Sapa yang menjamin bahwa kita bisa mencapai tahap perkawinan sebelum maut menjemput kita?
[konyol mode = on]
Orang bilang kawin itu enak soalnya membuat aliran keuangan menjadi lebih cermat.
Kalo gitu, sewa aja finance consultant, beres kan.
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang masakin.
Banyak kok tukang masak yang bisa disewa, makanannya pasti enak-enak.
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang nemenin kalo kita lagi sendirian ato mo jalan-jalan.
Telpon aja temen. Malah bisa ganti-ganti, nggak bosen kan?
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang ngurusin kalo lagi sakit.
Gitu aja kok repot, panggil aja dokter dan perawat pribadi.
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang bisa diajak berbagi suka dan duka.
Masa nggak punya temen sih? Kasian deh lo...
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang merindukan dan menanti.
Ngutang aja yang banyak, pasti bakalan banyak yang merindukan dan menanti.
Orang bilang kawin itu enak soalnya ada yang dirindukan dan dinanti.
Makanya ngutangin orang lain yang banyak, biar ada yang kita rindukan dan kita tunggu.
Jadi... masih mikirin kawin?
[konyol mode = off]
Jadi... kapan kawin?
Ya tunggu nikah lah, hahaha... (berarti tulisan di atas banyak yang salah tulis tuh :p)
Wednesday, April 25, 2007
Bapak Logika
Beberapa hari yang lalu, gue terlibat dalam sebuah percakapan dengan teman (cewe) di telp. Awalnya, gue hanya berbicara dengan dia saja. Sampai pada satu moment, gue menjawab sebuah pertanyaannya (gue lupa pertanyaannya) dengan jawaban "Perasaan adalah bagian dari logika. Tidak ada perasaan yang mutlak. Semua dapat berubah dan dapat dijelaskan dengan logika".
Seketika itu juga, dia memberi tahu ke temen-temen kosnya (cewe semua) yang kebetulan sedang berada satu ruangan di kosnya, tepatnya di ruang tamu. Hasilnya, gue langsung dikeroyok oleh segerombolan makhluk yang cenderung mengandalkan perasaan itu (padahal gue nggak kenal sama mereka :( ). Debatpun dimulai. Gue dianggap sebagai manusia tidak berperasaan. Hanya mikir untung rugi doang. Manusia seperti gue lah yang menyebabkan perasaan orang lain sakit karena tidak menggunakan perasaan. Saat itu, gue benar-benar diserang habis-habisan. Baru kali itu, gue hampir babak belur dihajar kaum hawa.
Untunglah, gue masih bisa bermain-main dengan berbagai logika sehingga gue dapat mempertahankan diri dari serangan bertubi-tubi itu. Gue terus mengelak dan bermanufer. Manufer-manufer itu akhirnya berhasil membawa gue ke atas angin. Mereka kebingungan dengan penjelasan-penjelasan gue. Di situlah akhirnya gue bisa mengendalikan 'permainan' dan akhirnya mengakhirinya sebelum semakin menjadi panjang (sebenernya sih karena takut dikeroyok terus, hehehe...). Sejak saat itu, karena berhasil membingungkan mereka dengan logika-logika, gue dikabarkan oleh temen gue bahwa gue mendapat gelar kehormatan dari kosan temen gue itu sebagai "Bapak Logika" (nggak penting banget ya, hehehe...).
Untungnya gue nggak sempet salah kata ataupun salah logika. Salah-salah, gue bisa-bisa malah menyingung perasaan mereka. Tapi karena gue tetap bermain di area logika, akhirnya mereka pun hanya bingung, bukan sakit perasaannya, hahaha...
Hmm... ini bisa jadi pelajaran buat gue, supaya berhati-hati bermain di area perasaan dengan kaum hawa. Kalo gitu, emang benerlah apa kata Ari Lasso, "Sentuhlah dia tepat di hatinya. Dia akan menjadi milikmu selamanya". Tapi apa jadinya kalo menyentuh dia tepat di otaknya? Mungkin dia akan menjadi bingung selamanya, hahaha... nggak segitunya kali... (peace girls...)
Separah itukah logika gue melihat halusnya perasaan? Terserah lah apa kata sampeyan... Gue hanya mengikuti logika bahwa seorang laki-laki lebih dominan logikanya dibanding perasaannya.
Seketika itu juga, dia memberi tahu ke temen-temen kosnya (cewe semua) yang kebetulan sedang berada satu ruangan di kosnya, tepatnya di ruang tamu. Hasilnya, gue langsung dikeroyok oleh segerombolan makhluk yang cenderung mengandalkan perasaan itu (padahal gue nggak kenal sama mereka :( ). Debatpun dimulai. Gue dianggap sebagai manusia tidak berperasaan. Hanya mikir untung rugi doang. Manusia seperti gue lah yang menyebabkan perasaan orang lain sakit karena tidak menggunakan perasaan. Saat itu, gue benar-benar diserang habis-habisan. Baru kali itu, gue hampir babak belur dihajar kaum hawa.
Untunglah, gue masih bisa bermain-main dengan berbagai logika sehingga gue dapat mempertahankan diri dari serangan bertubi-tubi itu. Gue terus mengelak dan bermanufer. Manufer-manufer itu akhirnya berhasil membawa gue ke atas angin. Mereka kebingungan dengan penjelasan-penjelasan gue. Di situlah akhirnya gue bisa mengendalikan 'permainan' dan akhirnya mengakhirinya sebelum semakin menjadi panjang (sebenernya sih karena takut dikeroyok terus, hehehe...). Sejak saat itu, karena berhasil membingungkan mereka dengan logika-logika, gue dikabarkan oleh temen gue bahwa gue mendapat gelar kehormatan dari kosan temen gue itu sebagai "Bapak Logika" (nggak penting banget ya, hehehe...).
Untungnya gue nggak sempet salah kata ataupun salah logika. Salah-salah, gue bisa-bisa malah menyingung perasaan mereka. Tapi karena gue tetap bermain di area logika, akhirnya mereka pun hanya bingung, bukan sakit perasaannya, hahaha...
Hmm... ini bisa jadi pelajaran buat gue, supaya berhati-hati bermain di area perasaan dengan kaum hawa. Kalo gitu, emang benerlah apa kata Ari Lasso, "Sentuhlah dia tepat di hatinya. Dia akan menjadi milikmu selamanya". Tapi apa jadinya kalo menyentuh dia tepat di otaknya? Mungkin dia akan menjadi bingung selamanya, hahaha... nggak segitunya kali... (peace girls...)
Separah itukah logika gue melihat halusnya perasaan? Terserah lah apa kata sampeyan... Gue hanya mengikuti logika bahwa seorang laki-laki lebih dominan logikanya dibanding perasaannya.
Tuesday, April 24, 2007
Dunia Psikologi
Belakangan ini gue baru menyadari kalo dunia psikologi itu ternyata menarik juga. Sepertinya ketertarikan itu mulai terpancing ketika gue mulai berkenalan dengan orang-orang yang kuliah di psikologi. Layaknya mahasiswa psikologi, topik-topik yang mereka bahas tentunya nggak jauh-jauh dari dunia perjiwaan. Selain itu, koleksi buku-bukunya juga dihiasi dengan novel-novel kejiwaan macam sybil, billy, cassandra de-el-el. Salah satu buku yang sudah gue pinjam (dan sudah gue baca lho... bangga banget ya bisa baca buku :D) adalah Sybil. Dan nantinya akan menyusul : Cassandra, kisah seseorang yang tidak mau bicara karena trauma (tar resensinya gue tulis juga deh kaya Sybil).
Selain buku-bukunya, salah satu hal yang bisa gue dapatkan dari para calon psikolog itu adalah konsultasi gratis (gretong bo... hari gini? hahaha...). Jadinya gue sekarang bisa 'melihat' diri sendiri maupun 'orang lain' dalam diri gue (bahasanya mulai berat nih :p). Memang! Beberapa temen seperti melihat 'orang lain' dalam diri gue. "Ini beneran arif ya?" Itulah kata-kata yang sering terlontar dalam canda temen-temen. Dalam satu kondisi (bukan karena moody lho), gue bisa berbeda dengan gue yang biasanya. Topeng? Double personality? Whatever you say lah. Pokoke itulah gue. Mau yang ribut, yang ancur, yang gokil, yang diem, itu semua sama kok. Gue nggak separah Sybill. Dan gue yakin setiap orang juga punya sisi-sisi lain dalam dirinya. Tinggal apakah mereka mau dan mampu menampilkannya?
Meskipun cuma buat fun aja, ternyata dunia psikologi mengasikkan juga ya. Apalagi kalo bisa ngerjain orang dengan berpura-pura menjadi orang lain, hahaha...
Selain buku-bukunya, salah satu hal yang bisa gue dapatkan dari para calon psikolog itu adalah konsultasi gratis (gretong bo... hari gini? hahaha...). Jadinya gue sekarang bisa 'melihat' diri sendiri maupun 'orang lain' dalam diri gue (bahasanya mulai berat nih :p). Memang! Beberapa temen seperti melihat 'orang lain' dalam diri gue. "Ini beneran arif ya?" Itulah kata-kata yang sering terlontar dalam canda temen-temen. Dalam satu kondisi (bukan karena moody lho), gue bisa berbeda dengan gue yang biasanya. Topeng? Double personality? Whatever you say lah. Pokoke itulah gue. Mau yang ribut, yang ancur, yang gokil, yang diem, itu semua sama kok. Gue nggak separah Sybill. Dan gue yakin setiap orang juga punya sisi-sisi lain dalam dirinya. Tinggal apakah mereka mau dan mampu menampilkannya?
Meskipun cuma buat fun aja, ternyata dunia psikologi mengasikkan juga ya. Apalagi kalo bisa ngerjain orang dengan berpura-pura menjadi orang lain, hahaha...
Friday, April 20, 2007
Training (lagi...)
Sudah lebih dari seminggu gue nggak update blog ini. Semenjak ikut training lagi, gue emang jadi nggak sempet ngisiblog. Soalnya hampir seminggu ini gue berangkat siang mulu, jadi nggak sempet ngeblog langsung training. Sementara setelah training, gue masih harus mengerjakan kerjaan rutin gue.
Oh iya, gue belum cerita tentang trainingnya ya. Gue tuh sekarang lagi training SAP BW. LUmayan lah dapat bekal sebelum berperang :D Soalnya dalam salah satu action plan di kantor, gue dilibatkan dalam Data Warehouse Project. Kalo gue ga tau apa-apa kan repot juga, harus belajar sana belajar sini. Enakan kalo ada yang ngajarin. Ya nggak? (hehehe... dasar males)
Oh iya, gue belum cerita tentang trainingnya ya. Gue tuh sekarang lagi training SAP BW. LUmayan lah dapat bekal sebelum berperang :D Soalnya dalam salah satu action plan di kantor, gue dilibatkan dalam Data Warehouse Project. Kalo gue ga tau apa-apa kan repot juga, harus belajar sana belajar sini. Enakan kalo ada yang ngajarin. Ya nggak? (hehehe... dasar males)
Thursday, April 12, 2007
Setan
Dua minggu lagi para penggemar bola akan disuguhi pertandingan yang makin seru. Yaitu semi final antara calon-calon jawara Champion dari eropa. Tiga dari Inggris dan satu lagi dari Itali.
Salah satu pertandingannya adalah antara 'Setan Merah' dengan 'Setan Merah'. Siapa pemenangnya? Gue yakin yang menang pasti setan. Gimana nggak? Kalo buat ibadah, solat, ato semacamnya, susah banget buat bangun tengah malam (lebih tepatnya dini hari). Tapi kalo buat nonton Setan-setan Merah, kok kayanya lebih gampang ya. Mungkin ini ada pengaruhnya dengan para setan yang menggoda supaya mau menonton mereka. Sementara kalo buat yang baik-baik, para setan itu terus menyanyikan godaan yang meninabobokan (kasian banget jadi setan, selalu disalahkan oleh para hambanya sendiri).
===
Aneh... pembuka sama penutupnya kok nggak ada hubungannya. Eh, ada ding, coba liat judulnya. Pembuka dan penutupnya sama-sama berhubungan sama judulnya. Jadi kesimpulannya pembuka dan penutup itu masih berhubungan (lewat judul, hehehe...)
Salah satu pertandingannya adalah antara 'Setan Merah' dengan 'Setan Merah'. Siapa pemenangnya? Gue yakin yang menang pasti setan. Gimana nggak? Kalo buat ibadah, solat, ato semacamnya, susah banget buat bangun tengah malam (lebih tepatnya dini hari). Tapi kalo buat nonton Setan-setan Merah, kok kayanya lebih gampang ya. Mungkin ini ada pengaruhnya dengan para setan yang menggoda supaya mau menonton mereka. Sementara kalo buat yang baik-baik, para setan itu terus menyanyikan godaan yang meninabobokan (kasian banget jadi setan, selalu disalahkan oleh para hambanya sendiri).
===
Aneh... pembuka sama penutupnya kok nggak ada hubungannya. Eh, ada ding, coba liat judulnya. Pembuka dan penutupnya sama-sama berhubungan sama judulnya. Jadi kesimpulannya pembuka dan penutup itu masih berhubungan (lewat judul, hehehe...)
Workshop User Requirement
Sore ini gue dapet 'tugas luar' ngikutin sebuah workshop, "Workshop User Requirement". Workshopnya di Sukabumi, katanya sih di Citarik (asik... long weekend, refreshing di alam bebas :D) Acaranya berlangsung hari Kamis sampai Minggu ini. Empat hari! Bawaannya pasti merepotkan. Berikut bawaan yang harus disiapkan berdasarkan instruksi dari bagian training:
- Perlalatan Mandi (tiap minggu juga dah biasa bawa)
- Baju ganti minimal 5 set (ini yang bikin bawaan repot)
- Baju tidur (biasa lah)
- Sepatu olah raga (ke kantor juga pake ginian, berarti dah built-up :D)
- Sweater (gue ga punya, adanya jaket yang biasa gue pake)
- Obat-obatan & perlengkapan pribadi (paling cuma obat pusing + obat luka ringan)
- Sun block (ga punya, kalo punya mungkin bisa sekalian buat saturday futbal :D)
- Lampu Senter (sekarang lupa bawa)
- Sandal jepit (ada di kantor, tinggal bungkus aja)
- Topi (ga punya, biarin dah, panas ya panas)
Sybil
Judul : Sybil (Kisah nyata seorang gadis dengan 16 kepribadian)
Pengarang : Flora Rheta Schreiber
Penerjemah : Sarlito W. Sarwono
Penerbit : Pustaka Sinar harapan
Tebal halaman : 496
Tahun : 1973
Buku ini mengisahkan seorang wanita bernama Sybil yang tinggal di Willow Corner dengan 16 kepribadiannya. Sybil dibesarkan oleh seorang Ibu yang mengasuh dengan penuh kekerasan. Sementara itu, Bapaknya seolah 'tidak tahu apa-apa' dengan pola asuh istrinya terhadap anaknya itu. Kondisi ini membuat kepribadian Sybil terpecah. Perpecahan ini terjadi karena 'dia sendiri' tidak sanggup menghadapi segala kondisi yang dia alami. Dalam kondisi seperti ini, dia bisa menjadi seseorang yang lain. Sementara dalam kondisi yang berbeda lagi dia bisa menjadi seseorang yang berbeda lagi. Namun, pribadi-pribadi yang hidup dalam diri satu orang tersebut bahkan tidak dapat saling berkomunikasi.
Selama bertahun-tahun Sybil hidup dalam kepribadian majemuk tanpa tahu yang sebenarnya. Banyak sekali konflik-konflik yang muncul karena kepribadian majemuk tersebut. Pertemuannya dengan Dokter Wilbur memberikan warna baru dalam hidupnya. Bertahun-tahun dia berkonsultasi dengan Dokter itu. Perjalannya pun tidak mudah. Namun, semangat Sybil untuk bisa 'sembuh', dukungan Dokter Wilbur, dan 'persetujuan' individu-individu yang lain dalam dirinya, berhasil membuat Sybil bertahan dalam proses penyembuhan tersebut hingga akhirnya Sybil dapat hidup tenang.
Buat yang suka bacaan psikologi, buku ini bisa menjadi salah satu buku yang wajib baca. Buku ini dipenuhi konfilk-konfilk kepribadian dalam diri seseorang. Apalagi buat yang ingin mencoba untuk 'menciptakan' pribadi-pribadi baru, buku ini bisa menjadi salah satu referensi. Tapi buat kamu-kamu yang mau pinjam buku ini, maaf ya, saya juga pinjam sama orang lain, hehehe...
Pengarang : Flora Rheta Schreiber
Penerjemah : Sarlito W. Sarwono
Penerbit : Pustaka Sinar harapan
Tebal halaman : 496
Tahun : 1973
Buku ini mengisahkan seorang wanita bernama Sybil yang tinggal di Willow Corner dengan 16 kepribadiannya. Sybil dibesarkan oleh seorang Ibu yang mengasuh dengan penuh kekerasan. Sementara itu, Bapaknya seolah 'tidak tahu apa-apa' dengan pola asuh istrinya terhadap anaknya itu. Kondisi ini membuat kepribadian Sybil terpecah. Perpecahan ini terjadi karena 'dia sendiri' tidak sanggup menghadapi segala kondisi yang dia alami. Dalam kondisi seperti ini, dia bisa menjadi seseorang yang lain. Sementara dalam kondisi yang berbeda lagi dia bisa menjadi seseorang yang berbeda lagi. Namun, pribadi-pribadi yang hidup dalam diri satu orang tersebut bahkan tidak dapat saling berkomunikasi.
Selama bertahun-tahun Sybil hidup dalam kepribadian majemuk tanpa tahu yang sebenarnya. Banyak sekali konflik-konflik yang muncul karena kepribadian majemuk tersebut. Pertemuannya dengan Dokter Wilbur memberikan warna baru dalam hidupnya. Bertahun-tahun dia berkonsultasi dengan Dokter itu. Perjalannya pun tidak mudah. Namun, semangat Sybil untuk bisa 'sembuh', dukungan Dokter Wilbur, dan 'persetujuan' individu-individu yang lain dalam dirinya, berhasil membuat Sybil bertahan dalam proses penyembuhan tersebut hingga akhirnya Sybil dapat hidup tenang.
Buat yang suka bacaan psikologi, buku ini bisa menjadi salah satu buku yang wajib baca. Buku ini dipenuhi konfilk-konfilk kepribadian dalam diri seseorang. Apalagi buat yang ingin mencoba untuk 'menciptakan' pribadi-pribadi baru, buku ini bisa menjadi salah satu referensi. Tapi buat kamu-kamu yang mau pinjam buku ini, maaf ya, saya juga pinjam sama orang lain, hehehe...
Wednesday, April 11, 2007
Gara-gara MU...
gue jadi kepagian ngantor. Jam 6.12, gue sudah ngeprik. Rekor terbaru lagi nih, hehehe...
Nggak rugi pagi tadi bangun jam 4 lewat, soale tadi disuguhi bermacam-macam gol (8 gol bo!!!). Luar biasa!!!
Nggak rugi pagi tadi bangun jam 4 lewat, soale tadi disuguhi bermacam-macam gol (8 gol bo!!!). Luar biasa!!!
Monday, April 09, 2007
Keledai di Puncak Gunung Es
Ini bukanlah sebuah dongeng pengantar tidur. Tapi ini hanyalah rangkaian kata seorang blogger yang muak setelah mendengar dan melihat berita tentang para jagoan di kampus maut.
Keledai! Mungkin itulah simbol yang cukup pas untuk sebuah institusi pendidikan yang sekarang sedang ramai dibahas, IPDN. Bahkan mungkin lebih parah dari keledai. Mungkin keledai pun malu kalau harus dibandingkan dengannya.
Hanya keledai yang jatuh dua kali ke lobang sama. Pepatah semacam itu tentu pernah kita dengar. Namun apa yang terjadi di IPDN? Menurut pengakuan seorang dosennya, sudah terlalu sering praja yang meninggal akibat kekerasan. Dan kasus yang cukup menghentakkan sisi kemanusiaan kita adalah ketika media mengekspos kepergian Wahyu Hidayat beberapa tahun yang lalu. Kecaman mengalir begitu deras ke kampus yang dulu bernama STPDN. Kekhawatiran tentu begitu menghujam dalam dada para orang tua yang anaknya sedang mengejar cita-cita di kampus pencetak pejabat negara tersebut. Hingga akhirnya dibuatlah sebuah janji yang menyatakan bahwa tidak ada lagi kekerasan di kampus yang akhirnya berubah menjadi IPDN tersebut. Tapi apa yang terjadi? Ternyata mereka benar-benar seperti keledai. Sepertinya mereka sengaja menjatuhkan diri ke lubang yang sama. Entah apa yang mereka cari. Kepuasan kah? Balas dendam kah? Sesempit itu kah hati mereka yang merupakan calon abdi bangsa. Atau mengajarkan disiplin? Bullshit! Yang paling memungkinkan dalam kondisi seperti itu hanyalah ketakutan dan kekhawatiran. Wahyu Hidayat bukanlah yang pertama. Tapi semua tentu berharap bahwa dialah yang terakhir. Tapi... kepergian Cliff Muntu meluluh lantakkan harapan besar itu.
Kepergian Wahyu Hidayat dan Cliff Muntu begitu membuka mata bangsa bahwa kampus yang seharusnya menciptakan calon abdi negara, ternyata justru lebih pantas dikatakan sebagai pencipta bangsa petarung. Masih bagus kalo bertarung memberantas preman-preman jalanan. Tapi yang mereka bantai justru adik-adik mereka sendiri yang seharusnya mereka asuh. Berdasarkan informasi dari seorang dosennya, ternyata Wahyu dan Cliff bagaikan puncak sebuah gunung es. Masih banyak Wahyu-Wahyu lain yang tertutup oleh kelihaian penghuni-penghuni kampus. Tiga puluh tujuh praja tewas (tujuh belas diantaranya tidak wajar) di kampus maut itu, begitulah kata seorang dosen (dan sekarang dosen tersebut dikenakan sangsi tidak boleh mengajar selama investigasi, entah untuk alasan apa, belum ada informasi yang jelas). Kalau yang meninggal saja sudah begitu banyak, bagaimana dengan yang 'hanya' luka-luka?
Pantaslah jika salah satu orang tua praja dalam sebuah wawancara di televisi meminta semua Pemda untuk sejenak memulangkan putra-putra daerahnya yang masih tingkat awal untuk diperiksa kondisi kesehatan mereka, terutama kesehatan organ-organ dalam. Bagaimana mungkin kekerasan-kekerasan yang sudah menjadi 'budaya' seperti itu tidak tercium oleh para petinggi kampus. Mungkin para petinggi itu perlu 'mengorbankan' salah satu anaknya untuk masuk ke kampus maut itu supaya mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh para orang tua praja.
Sekarang saya begitu merasa beruntung. Dulu ketika masih kelas tiga SMU, salah satu keinginan saya adalah masuk ke institusi pendidikan yang dikelola negara. Tentu saja dengan harapan supaya cepat mendapat perkerjaan. Saat itu saya hanya mengenal STAN dan STIS. Entah apa jadinya kalau saya tahu bahwa ada perguran bernama STPDN dan saya masuk ke dalam kampus itu. Tapi saya juga agak heran, setelah kasus wahyu Hidayat mencuat, ternyata masih banyak orang tua yang mau mengirim ke kampus maut tersebut. Mungkin mereka terlena oleh itikad baik mereka ketika berikrar bahwa tidak ada lagi kekerasan di kampus tersebut. Tapi ternyata? Kita semua tahu siapa mereka. Bagai keledai di puncak gunung es.
Kemunculan kasus-kasus kekerasan membuat orang-orang jadi berang, hingga ada yang berucap, "Sudah, bubarkan saja kampus itu!!!" Tapi apakah itu jalan terbaik? Salah satu Pemda di Indonesia ternyata masih memiliki ide yang cukup jitu (setidaknya menurut saya). Pemda tersebut akan membentuk 'sekolah sementara' yang bebas dari kultur perpremanan dan mencetak calon birokratnya sendiri. Namun jika kondisi IPDN sudah membaik, Pemda tersebut siap mengirim kembali putra-putra daerahnya ke IPDN. Tapi masalahnya apakah jajaran petinggi kampus dan petinggi negara memiliki itikad baik untuk menangani hal ini? Kalo tidak, mungkin 'sekolah sementara' pun bakal berubah menjadi 'sekolah beneran'. Kita lihat saja nanti.
Selamat Jalan Cliff Muntu. Semoga pengorbananmu melepaskan IPDN dari kekerasan di masa yang akan datang.
Keledai! Mungkin itulah simbol yang cukup pas untuk sebuah institusi pendidikan yang sekarang sedang ramai dibahas, IPDN. Bahkan mungkin lebih parah dari keledai. Mungkin keledai pun malu kalau harus dibandingkan dengannya.
Hanya keledai yang jatuh dua kali ke lobang sama. Pepatah semacam itu tentu pernah kita dengar. Namun apa yang terjadi di IPDN? Menurut pengakuan seorang dosennya, sudah terlalu sering praja yang meninggal akibat kekerasan. Dan kasus yang cukup menghentakkan sisi kemanusiaan kita adalah ketika media mengekspos kepergian Wahyu Hidayat beberapa tahun yang lalu. Kecaman mengalir begitu deras ke kampus yang dulu bernama STPDN. Kekhawatiran tentu begitu menghujam dalam dada para orang tua yang anaknya sedang mengejar cita-cita di kampus pencetak pejabat negara tersebut. Hingga akhirnya dibuatlah sebuah janji yang menyatakan bahwa tidak ada lagi kekerasan di kampus yang akhirnya berubah menjadi IPDN tersebut. Tapi apa yang terjadi? Ternyata mereka benar-benar seperti keledai. Sepertinya mereka sengaja menjatuhkan diri ke lubang yang sama. Entah apa yang mereka cari. Kepuasan kah? Balas dendam kah? Sesempit itu kah hati mereka yang merupakan calon abdi bangsa. Atau mengajarkan disiplin? Bullshit! Yang paling memungkinkan dalam kondisi seperti itu hanyalah ketakutan dan kekhawatiran. Wahyu Hidayat bukanlah yang pertama. Tapi semua tentu berharap bahwa dialah yang terakhir. Tapi... kepergian Cliff Muntu meluluh lantakkan harapan besar itu.
Kepergian Wahyu Hidayat dan Cliff Muntu begitu membuka mata bangsa bahwa kampus yang seharusnya menciptakan calon abdi negara, ternyata justru lebih pantas dikatakan sebagai pencipta bangsa petarung. Masih bagus kalo bertarung memberantas preman-preman jalanan. Tapi yang mereka bantai justru adik-adik mereka sendiri yang seharusnya mereka asuh. Berdasarkan informasi dari seorang dosennya, ternyata Wahyu dan Cliff bagaikan puncak sebuah gunung es. Masih banyak Wahyu-Wahyu lain yang tertutup oleh kelihaian penghuni-penghuni kampus. Tiga puluh tujuh praja tewas (tujuh belas diantaranya tidak wajar) di kampus maut itu, begitulah kata seorang dosen (dan sekarang dosen tersebut dikenakan sangsi tidak boleh mengajar selama investigasi, entah untuk alasan apa, belum ada informasi yang jelas). Kalau yang meninggal saja sudah begitu banyak, bagaimana dengan yang 'hanya' luka-luka?
Pantaslah jika salah satu orang tua praja dalam sebuah wawancara di televisi meminta semua Pemda untuk sejenak memulangkan putra-putra daerahnya yang masih tingkat awal untuk diperiksa kondisi kesehatan mereka, terutama kesehatan organ-organ dalam. Bagaimana mungkin kekerasan-kekerasan yang sudah menjadi 'budaya' seperti itu tidak tercium oleh para petinggi kampus. Mungkin para petinggi itu perlu 'mengorbankan' salah satu anaknya untuk masuk ke kampus maut itu supaya mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh para orang tua praja.
Sekarang saya begitu merasa beruntung. Dulu ketika masih kelas tiga SMU, salah satu keinginan saya adalah masuk ke institusi pendidikan yang dikelola negara. Tentu saja dengan harapan supaya cepat mendapat perkerjaan. Saat itu saya hanya mengenal STAN dan STIS. Entah apa jadinya kalau saya tahu bahwa ada perguran bernama STPDN dan saya masuk ke dalam kampus itu. Tapi saya juga agak heran, setelah kasus wahyu Hidayat mencuat, ternyata masih banyak orang tua yang mau mengirim ke kampus maut tersebut. Mungkin mereka terlena oleh itikad baik mereka ketika berikrar bahwa tidak ada lagi kekerasan di kampus tersebut. Tapi ternyata? Kita semua tahu siapa mereka. Bagai keledai di puncak gunung es.
Kemunculan kasus-kasus kekerasan membuat orang-orang jadi berang, hingga ada yang berucap, "Sudah, bubarkan saja kampus itu!!!" Tapi apakah itu jalan terbaik? Salah satu Pemda di Indonesia ternyata masih memiliki ide yang cukup jitu (setidaknya menurut saya). Pemda tersebut akan membentuk 'sekolah sementara' yang bebas dari kultur perpremanan dan mencetak calon birokratnya sendiri. Namun jika kondisi IPDN sudah membaik, Pemda tersebut siap mengirim kembali putra-putra daerahnya ke IPDN. Tapi masalahnya apakah jajaran petinggi kampus dan petinggi negara memiliki itikad baik untuk menangani hal ini? Kalo tidak, mungkin 'sekolah sementara' pun bakal berubah menjadi 'sekolah beneran'. Kita lihat saja nanti.
Selamat Jalan Cliff Muntu. Semoga pengorbananmu melepaskan IPDN dari kekerasan di masa yang akan datang.
Thursday, April 05, 2007
Fokus Dong!
Aduh, nggak kaya biasanya. Biasanya biarpun banyak kerjaan gue masih bisa multitasking dan ngerjain kerjaan berurutan. Tapi hari ini gue cuma buka dari satu file ke file lain. Nggak ada yang kepegang. Semua cuma buka-bukaan. Hari ini bener-bener nggak bisa fokus. Inikah efek before long weekend syndrome? Hehehe...
Ayo! Fokus Dong! Kerjaan lagi numpuk
===
Bukannya fokus di kerjaan malah fokus di blog. Orang yang aneh.
Yah... mudah-mudahan fokus bloggingnya bisa menular ke fokus kerjaan :D
===
Mungkin pembuatan list dan prioritas bisa membantu kali ya...
1. Ini - Pending, orangnya lagi ada trouble
2. Itu - Ini kan prioritas utama! Senen mo dipake. Yang ini dulu deh
3. Anu - Hmm... no 2 dulu deh
4. Ono noh - Yang ini... setelah 3 aja deh
Kesimpulannya: Kerjain yang no 2 dulu deh sampe makan siang
Ayo! Fokus Dong! Kerjaan lagi numpuk
===
Bukannya fokus di kerjaan malah fokus di blog. Orang yang aneh.
Yah... mudah-mudahan fokus bloggingnya bisa menular ke fokus kerjaan :D
===
Mungkin pembuatan list dan prioritas bisa membantu kali ya...
1. Ini - Pending, orangnya lagi ada trouble
2. Itu - Ini kan prioritas utama! Senen mo dipake. Yang ini dulu deh
3. Anu - Hmm... no 2 dulu deh
4. Ono noh - Yang ini... setelah 3 aja deh
Kesimpulannya: Kerjain yang no 2 dulu deh sampe makan siang
Wednesday, April 04, 2007
Mendadak Blogging
Siang kemarin blog gue ketambahan beberapa link baru. Karena lumayan banyak (dan kayanya masih bakalan terus bertambah) akhirnya gue bikin group tersendiri, AHM.
Sepertinya, temen-temen di kantor lagi pada demam blog. Beberapa link baru yang ada di blog merupakan blog baru. Itupun sebenernya masih banyak yang belum gue masukin. Lagi males nyari-nyarinya :D Entah apa alasan mereka pada rame-rame bikin blog. Terserah masing-masing lah. Yang jelas... welcome to de Blog pren...
Sepertinya, temen-temen di kantor lagi pada demam blog. Beberapa link baru yang ada di blog merupakan blog baru. Itupun sebenernya masih banyak yang belum gue masukin. Lagi males nyari-nyarinya :D Entah apa alasan mereka pada rame-rame bikin blog. Terserah masing-masing lah. Yang jelas... welcome to de Blog pren...
Tuesday, April 03, 2007
Saturday@April
Bulan ini kayanya gue bakalan absen dari aktifitas Saturday Futball Fever karena empat kali Sabtu di bulan April sudah di-booking oleh aktifitas lain. Berikut ini aktifitas yang sudah nge-booking Sabtu-Sabtu gue.
7 April
Pada hari ini gue (mudah-mudahan) sedang berada di rumah (bukan kos lho ya). Lumayan, tanggal 6 nya kan libur. Jadi mumpung lagi long weekend dan awal bulan, kesempatan buat mudik (asik....). Nuansa yang beda kayanya juga bakalan gue rasakan kalo rencana temen-temen buat melancong ke Tegal jadi terlaksana. Lihat saja nanti deh, mereka jadi maen nggak.
Mudik? Asik...
14 April
Tanggal 12-15 April, gue mendapat 'perintah' dari kantor untuk mengikuti sebuah workshop bertema 'User Requirement'. Biasanya workshop itu membosankan. Tapi kali ini workshopnya di luar alias outdoor. Udah gitu tempatnya di Citarik, Sukabumi. Katanya bakalan ada acara arung jeram segala. Terakhir kali gue maen arung jeram adalah Juni 2001. Itupun di Dufan, hehehe...
Arung Jeram? Asik...
21 April dan 28 April
Berhubung banyak hari kerja yang kepotong di bulan April, ditambah lagi banyaknya kerjaan yang tertunda karena banyak hal, akhirnya dua Sabtu dalam bulan April gue diminta masuk buat mengejar ketertinggalan. Dua Sabtu terakhir pun mau nggak mau harus gue ikhlaskan buat gue habiskan di kantor. Tenang pren, kalo maen bolanya diundur jadi jam 4 an, gue masih sempet kok dateng ke stadion BNI. Dengan peraturan 7 jam kerja (6 jam kerja + 1 jam istirahat) supaya dapat dihitung sebagai lembur, berarti gue bisa cabut jam 2 kalo gue dateng jam 7 pagi :D
Lembur? Siapa takut?
Bola? Asik...
7 April
Pada hari ini gue (mudah-mudahan) sedang berada di rumah (bukan kos lho ya). Lumayan, tanggal 6 nya kan libur. Jadi mumpung lagi long weekend dan awal bulan, kesempatan buat mudik (asik....). Nuansa yang beda kayanya juga bakalan gue rasakan kalo rencana temen-temen buat melancong ke Tegal jadi terlaksana. Lihat saja nanti deh, mereka jadi maen nggak.
Mudik? Asik...
14 April
Tanggal 12-15 April, gue mendapat 'perintah' dari kantor untuk mengikuti sebuah workshop bertema 'User Requirement'. Biasanya workshop itu membosankan. Tapi kali ini workshopnya di luar alias outdoor. Udah gitu tempatnya di Citarik, Sukabumi. Katanya bakalan ada acara arung jeram segala. Terakhir kali gue maen arung jeram adalah Juni 2001. Itupun di Dufan, hehehe...
Arung Jeram? Asik...
21 April dan 28 April
Berhubung banyak hari kerja yang kepotong di bulan April, ditambah lagi banyaknya kerjaan yang tertunda karena banyak hal, akhirnya dua Sabtu dalam bulan April gue diminta masuk buat mengejar ketertinggalan. Dua Sabtu terakhir pun mau nggak mau harus gue ikhlaskan buat gue habiskan di kantor. Tenang pren, kalo maen bolanya diundur jadi jam 4 an, gue masih sempet kok dateng ke stadion BNI. Dengan peraturan 7 jam kerja (6 jam kerja + 1 jam istirahat) supaya dapat dihitung sebagai lembur, berarti gue bisa cabut jam 2 kalo gue dateng jam 7 pagi :D
Lembur? Siapa takut?
Bola? Asik...
Monday, April 02, 2007
Comfort Zone
Minggu kemarin, sempat beredar isu buat meningkatkan kualitas lapangan bola di kalangan Saturday Futbal Warrior. Seseorang dari mereka mengusulkan untuk mengganti Futbal (ato mungkin lebih tepatnya Fun-ball, hehehe...) menjadi Futsal khusus untuk Sabtu terakhir di bulan Maret. Setelah melalui proses pengumuman, promosi, penjaringan massa, dan pendaftaran, akhirnya diperoleh keputusan : "Sabtu ini kembali maen di stadion BNI"
Penyebab utamanya sudah jelas, tidak memenuhi kuota minimal. Seandainya satu lapangan menghabiskan 12 manusia, berarti dibutuhkan paling tidak dibutuhkan 15 manusia untuk bermain futsal(gue nggak tau kenapa gue milih tiga orang pemain pengganti, kenapa nggak empat, lima, atau enam? mungkin karena futsalnya berlangsung di bulan maret kali ya). Karena kalau nggak gantian, pasti bakalan cape benget kalo maen futsal full satu jam. Selain itu, biar biayanya juga lebih murah, hehehe...
Sebagai seorang IT analyst (busyet dah, ngomongin ginian aja sampe bawa kerjaan :D), gue tertarik untuk menganalisa salah satu penyebab kegagalan rencana itu. Kalo dari respon teman-teman, ada yang bilang malu, males, nggak enak, dan yang semacamnya. Menurut gue itu alasan yang wajar. Tapi kenapa itu bisa terjadi? (Tanya kenapa...) Mungkin karena dalam komunitas futbal warrior itu masih terdapat orang-orang yang tidak mau keluar dari comfort zone mereka masing-masing.
Untuk urusan gila, komunitas para warrior itu mungkin tidak diragukan lagi (bahkan terkadang gue malu mengakui mereka sebagai teman, hehehe... peace man). Tapi sayang, ketika sudah dipisah-pisahkan, atau di depan banyak orang, tiba-tiba mereka bisa menjadi orang yang terlihat jaim (meskipun tetap dengan tampang-tampang seremnya :D), mereka menjadi pemalu (padahal biasanya malu-maluin).
Mereka sudah terbiasa dengan stadion itu. Mereka sudah merasa nyaman dengan apa yang mereka dapatkan. Lapangan luas, rumput alami yang diselingi putri malu, jauh dari keramaian, gaya futbal yang antik (nggak bakalan lo temuin di EPL, Seri A, maupun La Liga). So, ngapain harus bersusah-susah booking tempat, maen di antara kerumunan massa. Apalagi dengan skill yang apa adanya. Makin lengkap sudah alasan untuk mempertahankan kenyamanan stadion BNI.
Ah... gue sendiri mungkin termasuk orang yang susah untuk mendobrak comfort zone gue. Kos gue sekarang, pekerjaan gue sekarang, teman-teman gue sekarang, rutinitas gue sekarang. Itu semua sudah gue rasakan nyaman. Jadi untuk apa gue harus repot-repot menyingkirkan semua itu demi sesuatu yang belum pasti. Meskipun begitu, sebenarnya keinginan (sebenernya kata ini ingin gue ganti dengan kata ambisi, tapi sepertinya belum mencerminkan kondisi sebenernya) untuk sejenak keluar dari comfort zone tetap ada. Kos? Biarin lah, pindahnya sekalian kalo sudah rumah sendiri (ato minimal kontrakan), amin... Pekerjaan? Yang ini sih masih OK lah. Teman? Asli! Bosen bo! Tapi mo gimana lagi, cuma mereka yang gue punya, dan untungnya lucu-lucu + gokil-gokil, hehehe... Pengen sih jalan-jalan, muter-muter, maen-maen biar dapet temen baru yang banyak. Tapi itu dia, males + sok sibuk + keasikan dengan temen yang itu-itu aja. Rutinitas? Kayaknya pulang kerja langsung ke kos, terus kalo weekend ke depok. Boring nggak sih? Tapi buat menciptakan suasana baru kok kayaknya susah banget ya. Abisnya gue dah ngerasa nyaman sih. Apalagi di depok banyak anak-anak lucu yang kalo maen bola juga lucu-lucu, hehehe... I Love U all (huek....)
Pengen.... banget. Bisa mendobrak dinding-dinding yang menghalangi gue keluar dari comfort zone gue. Mungkin ikutan audisi extravaganza bisa menjadi salah satu pilihan. Tapi masalahnya gue belum bisa mutusin urat malu gue, hahaha...
Penyebab utamanya sudah jelas, tidak memenuhi kuota minimal. Seandainya satu lapangan menghabiskan 12 manusia, berarti dibutuhkan paling tidak dibutuhkan 15 manusia untuk bermain futsal(gue nggak tau kenapa gue milih tiga orang pemain pengganti, kenapa nggak empat, lima, atau enam? mungkin karena futsalnya berlangsung di bulan maret kali ya). Karena kalau nggak gantian, pasti bakalan cape benget kalo maen futsal full satu jam. Selain itu, biar biayanya juga lebih murah, hehehe...
Sebagai seorang IT analyst (busyet dah, ngomongin ginian aja sampe bawa kerjaan :D), gue tertarik untuk menganalisa salah satu penyebab kegagalan rencana itu. Kalo dari respon teman-teman, ada yang bilang malu, males, nggak enak, dan yang semacamnya. Menurut gue itu alasan yang wajar. Tapi kenapa itu bisa terjadi? (Tanya kenapa...) Mungkin karena dalam komunitas futbal warrior itu masih terdapat orang-orang yang tidak mau keluar dari comfort zone mereka masing-masing.
Untuk urusan gila, komunitas para warrior itu mungkin tidak diragukan lagi (bahkan terkadang gue malu mengakui mereka sebagai teman, hehehe... peace man). Tapi sayang, ketika sudah dipisah-pisahkan, atau di depan banyak orang, tiba-tiba mereka bisa menjadi orang yang terlihat jaim (meskipun tetap dengan tampang-tampang seremnya :D), mereka menjadi pemalu (padahal biasanya malu-maluin).
Mereka sudah terbiasa dengan stadion itu. Mereka sudah merasa nyaman dengan apa yang mereka dapatkan. Lapangan luas, rumput alami yang diselingi putri malu, jauh dari keramaian, gaya futbal yang antik (nggak bakalan lo temuin di EPL, Seri A, maupun La Liga). So, ngapain harus bersusah-susah booking tempat, maen di antara kerumunan massa. Apalagi dengan skill yang apa adanya. Makin lengkap sudah alasan untuk mempertahankan kenyamanan stadion BNI.
Ah... gue sendiri mungkin termasuk orang yang susah untuk mendobrak comfort zone gue. Kos gue sekarang, pekerjaan gue sekarang, teman-teman gue sekarang, rutinitas gue sekarang. Itu semua sudah gue rasakan nyaman. Jadi untuk apa gue harus repot-repot menyingkirkan semua itu demi sesuatu yang belum pasti. Meskipun begitu, sebenarnya keinginan (sebenernya kata ini ingin gue ganti dengan kata ambisi, tapi sepertinya belum mencerminkan kondisi sebenernya) untuk sejenak keluar dari comfort zone tetap ada. Kos? Biarin lah, pindahnya sekalian kalo sudah rumah sendiri (ato minimal kontrakan), amin... Pekerjaan? Yang ini sih masih OK lah. Teman? Asli! Bosen bo! Tapi mo gimana lagi, cuma mereka yang gue punya, dan untungnya lucu-lucu + gokil-gokil, hehehe... Pengen sih jalan-jalan, muter-muter, maen-maen biar dapet temen baru yang banyak. Tapi itu dia, males + sok sibuk + keasikan dengan temen yang itu-itu aja. Rutinitas? Kayaknya pulang kerja langsung ke kos, terus kalo weekend ke depok. Boring nggak sih? Tapi buat menciptakan suasana baru kok kayaknya susah banget ya. Abisnya gue dah ngerasa nyaman sih. Apalagi di depok banyak anak-anak lucu yang kalo maen bola juga lucu-lucu, hehehe... I Love U all (huek....)
Pengen.... banget. Bisa mendobrak dinding-dinding yang menghalangi gue keluar dari comfort zone gue. Mungkin ikutan audisi extravaganza bisa menjadi salah satu pilihan. Tapi masalahnya gue belum bisa mutusin urat malu gue, hahaha...
Subscribe to:
Posts (Atom)