Monday, April 09, 2007

Keledai di Puncak Gunung Es

Ini bukanlah sebuah dongeng pengantar tidur. Tapi ini hanyalah rangkaian kata seorang blogger yang muak setelah mendengar dan melihat berita tentang para jagoan di kampus maut.

Keledai! Mungkin itulah simbol yang cukup pas untuk sebuah institusi pendidikan yang sekarang sedang ramai dibahas, IPDN. Bahkan mungkin lebih parah dari keledai. Mungkin keledai pun malu kalau harus dibandingkan dengannya.

Hanya keledai yang jatuh dua kali ke lobang sama. Pepatah semacam itu tentu pernah kita dengar. Namun apa yang terjadi di IPDN? Menurut pengakuan seorang dosennya, sudah terlalu sering praja yang meninggal akibat kekerasan. Dan kasus yang cukup menghentakkan sisi kemanusiaan kita adalah ketika media mengekspos kepergian Wahyu Hidayat beberapa tahun yang lalu. Kecaman mengalir begitu deras ke kampus yang dulu bernama STPDN. Kekhawatiran tentu begitu menghujam dalam dada para orang tua yang anaknya sedang mengejar cita-cita di kampus pencetak pejabat negara tersebut. Hingga akhirnya dibuatlah sebuah janji yang menyatakan bahwa tidak ada lagi kekerasan di kampus yang akhirnya berubah menjadi IPDN tersebut. Tapi apa yang terjadi? Ternyata mereka benar-benar seperti keledai. Sepertinya mereka sengaja menjatuhkan diri ke lubang yang sama. Entah apa yang mereka cari. Kepuasan kah? Balas dendam kah? Sesempit itu kah hati mereka yang merupakan calon abdi bangsa. Atau mengajarkan disiplin? Bullshit! Yang paling memungkinkan dalam kondisi seperti itu hanyalah ketakutan dan kekhawatiran. Wahyu Hidayat bukanlah yang pertama. Tapi semua tentu berharap bahwa dialah yang terakhir. Tapi... kepergian Cliff Muntu meluluh lantakkan harapan besar itu.

Kepergian Wahyu Hidayat dan Cliff Muntu begitu membuka mata bangsa bahwa kampus yang seharusnya menciptakan calon abdi negara, ternyata justru lebih pantas dikatakan sebagai pencipta bangsa petarung. Masih bagus kalo bertarung memberantas preman-preman jalanan. Tapi yang mereka bantai justru adik-adik mereka sendiri yang seharusnya mereka asuh. Berdasarkan informasi dari seorang dosennya, ternyata Wahyu dan Cliff bagaikan puncak sebuah gunung es. Masih banyak Wahyu-Wahyu lain yang tertutup oleh kelihaian penghuni-penghuni kampus. Tiga puluh tujuh praja tewas (tujuh belas diantaranya tidak wajar) di kampus maut itu, begitulah kata seorang dosen (dan sekarang dosen tersebut dikenakan sangsi tidak boleh mengajar selama investigasi, entah untuk alasan apa, belum ada informasi yang jelas). Kalau yang meninggal saja sudah begitu banyak, bagaimana dengan yang 'hanya' luka-luka?

Pantaslah jika salah satu orang tua praja dalam sebuah wawancara di televisi meminta semua Pemda untuk sejenak memulangkan putra-putra daerahnya yang masih tingkat awal untuk diperiksa kondisi kesehatan mereka, terutama kesehatan organ-organ dalam. Bagaimana mungkin kekerasan-kekerasan yang sudah menjadi 'budaya' seperti itu tidak tercium oleh para petinggi kampus. Mungkin para petinggi itu perlu 'mengorbankan' salah satu anaknya untuk masuk ke kampus maut itu supaya mereka dapat merasakan apa yang dirasakan oleh para orang tua praja.

Sekarang saya begitu merasa beruntung. Dulu ketika masih kelas tiga SMU, salah satu keinginan saya adalah masuk ke institusi pendidikan yang dikelola negara. Tentu saja dengan harapan supaya cepat mendapat perkerjaan. Saat itu saya hanya mengenal STAN dan STIS. Entah apa jadinya kalau saya tahu bahwa ada perguran bernama STPDN dan saya masuk ke dalam kampus itu. Tapi saya juga agak heran, setelah kasus wahyu Hidayat mencuat, ternyata masih banyak orang tua yang mau mengirim ke kampus maut tersebut. Mungkin mereka terlena oleh itikad baik mereka ketika berikrar bahwa tidak ada lagi kekerasan di kampus tersebut. Tapi ternyata? Kita semua tahu siapa mereka. Bagai keledai di puncak gunung es.

Kemunculan kasus-kasus kekerasan membuat orang-orang jadi berang, hingga ada yang berucap, "Sudah, bubarkan saja kampus itu!!!" Tapi apakah itu jalan terbaik? Salah satu Pemda di Indonesia ternyata masih memiliki ide yang cukup jitu (setidaknya menurut saya). Pemda tersebut akan membentuk 'sekolah sementara' yang bebas dari kultur perpremanan dan mencetak calon birokratnya sendiri. Namun jika kondisi IPDN sudah membaik, Pemda tersebut siap mengirim kembali putra-putra daerahnya ke IPDN. Tapi masalahnya apakah jajaran petinggi kampus dan petinggi negara memiliki itikad baik untuk menangani hal ini? Kalo tidak, mungkin 'sekolah sementara' pun bakal berubah menjadi 'sekolah beneran'. Kita lihat saja nanti.

Selamat Jalan Cliff Muntu. Semoga pengorbananmu melepaskan IPDN dari kekerasan di masa yang akan datang.

No comments: