Tuesday, June 12, 2007

Minyak Jelantah

Beberapa hari ini Minyak Jelantah lagi jadi biang obrolan. Yup, gara-gara harga minyak goreng yang melambung tinggi, para pedagang kecil-kecilan dari mulai penjual gorengan, sampai penjual nasi seperti warteg, membuat terobosan untuk memperkecil biaya produksi dengan mendaur ulang minyak goreng yang sudah dipakai. Berita-berita seperti ini sering kita jumpai dalam acara-acara berita di televisi maupun di radio.

Dalam salah satu lagunya, sebuah band legendaris dari Indonesia, Koesplus, menuliskan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang makmur. Sawah dimana-mana, hutan berhektar-hektar, kekayaan alam melimpah. Kalau melihat alamnya, mungkin pendapat Koesplus itu benar. Tapi tidak kalo melihat sumber daya lainnya.

Pengeboran minyak ada di mana-mana, tapi harga bahan bakar terus melambung. Kelapa sawit ada di mana-mana, tapi harga minyak goreng terus meroket. Sawah ada di mana-mana, tapi harga beras terus melonjak. Tanya ken... apa...

Kabarnya sih minyak goreng jadi mahal gara-gara stok yang ada dijual ke luar. Alasannya? Pasti duit lah. Kalo jualan di luar lebih mahal ngapain jual di dalam. Kalaupun harga minyak goreng di dalam negeri jadi mahal, toh masih bisa terbeli dengan hasil jualan ke luar (ya nggak?). Terus yang nggak punya duit? Kalo nggak punya duit ya nggak usah nggoreng, rebus aja (gitu kali ya maksud para penjual sinting itu).

Berarti lirik lagu Koesplus masih kurang pas untuk kondisi seutuhnya di Indonesia. Sekarang gue jadi khawatir nih dengan harga garam. Bangsa kita adalah bangsa yang dikelilingi banyak lautan. Seiring dengan semakin memanasnya bumi ini, es di kutub semakin mengikis dan lautan semakin meluas. Laut memang meluas. Tapi itu berarti area daratan akan mengecil yang berakibat berkurangnya ladang untuk membuat garam. Lihat saja, minyak goreng yang stoknya banyak saja semakin mahal. Bagaimana dengan ladang garam yang menyempit? Bagaimana dengan produksi garam yang menurun? Bagaimana dengan kebutuhan garam yang menanjak? Apalagi efeknya kalau bukan naiknya harga garam. Kalau garam begitu berarti dan mahal di luar, kenapa harus dijual di dalam? Jadi... siap-siap saja kalau suatu saat harga garam akan meroket.

No comments: