Beberapa hari yang lalu, gue nonton salah satu film horor Indonesia, Lewat Tengah Malam (LTM - Joanna Alexandra, maap kalo tulisannya salah). Seandainya gue belum nonton film luar yang berjudul The Others (TO - Nicole Kidman), pasti gue memberikan acungan jempol (four thumbs up) buat film LTM ini. Ceritanya bagus (menurut gue). Tapi di akhir film ini, gue jadi langsung inget sama TO karena adanya kemiripan cerita. Gue pun cuma berkomentar, "Ah, ternyata cuma 'contekan'"
Nggak lama kemudian, secara 'nggak sengaja' gue nonton sinetron (ketauan deh hobinya, hehehe) di RCTI, judulnya Olivia. Sekitar lima belas menit setelah nonton, gue langsung inget sama film She Is The Man (SITM). Olivia mengisahkan tentang seorang cewe yang nggak boleh bergabung dengan tim sepakbola sekolah karena alasan gender (makanya maen di lap BNI aja kalo sabtu siang jam 2an, pasti boleh deh). Berbekal balas dendam dan rasa ingin unjuk gigi, dia bertekad untuk dapat bermain di tim sepakbola pria. Setelah melakukan penyamaran (jadi cowo bo), akhirnya dia berhasil bergabung dengan tim sepakbola sekolah lain (sebelum sinetron ini kelar, gue sudah keburu cabut ke Depok). Kisah-kisah nya juga mirip banget. Tinggal satu kamar dengan cowo, menyukai cowo (inget lho, dia sekarang lagi jadi cowo), disukai cewe (inget lho, dia aslinya cewe), dan sederet masalah-masalah lain yang membumbui alur cerita tampak tidak ada bedanya dengan film SITM. "Ah, lagi-lagi contekan" pikir gue
Selain dua film dan sinetron di atas, tentu banyak sekali film-film atau sinetron-sinetron di Indonesia yang memimiliki kemiripan dengan banyak alasan. Lihatlah bagaimana ketika Dunia Lain sukses muncul di salah satu stasiun TV, tidak lama kemudian sederet judul-judul dengan tema serupa menghiasi stasiun TV yang lain. Atau ketika Rahasia Ilahi mulai menuai rating, stasiun TV lain pun mulai memasang ancang-ancang supaya sinetron itu tidak melenggang sendirian. Sinetron-sinetron lainpun bermunculan yang merupakan buah dari strategi. Mau contoh lagi? Dulu bioskop kita hanya menyajikan film-film Hollywod. Mau tidak mau, itulah pilihan yang bisa kita santap. Hingga tiba masanya film Indonesia beranjak tampil menghiasi papan-papan Twenty One. Daun Di Atas Bantal, Ada Apa Dengan Cinta, merupakan contoh-contoh film yang mulai membangunkan film Indonesia dari tidur panjangnya. Setelah film Indonesia mulai meramaikan jagad perfilman Indonesia, trend-trend dengan sendirinya muncul ke permukaan. Ketika film-film romantis laris di pasaran, Production House berlomba-lomba membuat film-film romantis (tapi kalo tema romantis alias cinta sih kayaknya emang nggak pernah abis). Ketika film-film hantu disukai dan mendapat respon positif dari masyarakat perfilman, para hantu pun bergentayangan di baliho-baliho, poster-poster, maupun papan-papan iklan. Bahkan area bioskop pun tidak cukup untuk menampung hantu-hantu yang siap menghibur dan menakut-nakuti penontonnya. Jalan raya pun turut menjadi korban pelampiasan para hantu dalam memperkenalkan diri mereka.
Sialnya, tidak semua trend, kemiripan, atau apapun itu namanya, dapat diterima oleh masyarakat perfilman. Dunia perfilman kita sempat heboh dengan munculnya film kontroversial yang menjadi pemenang dalam ajang paling bergengsi di Indonesia, Festival Film Indonesia. Masyarakat yang peduli dengan perfilman Indonesia pun melakukan aksi demo dengan cara mengembalikan piala-piala yang pernah mereka terima melalui ajang bergengsi tersebut. Apa jadinya jika film yang dianggap tidak memiliki orisinalitas itu maju ke pentas festival tingkat dunia? Ah, peduli setan, gue mah yang penting bisa nonton film-film dari hasil 'kemiripan' CD/DVD (dengan yang ori) yang sekarang sepertinya sudah menjadi trend karena pasar juga tidak menolaknya, hehehe... Weitz... tunggu dulu, gue cuma melakukan itu sama film2 luar. Kalo film indo, pasti gue nonton dari CD ori atau langsung di bioskop. Biar karya anak negeri terus berkembang, ceile...
Kemunculan film-film Indonesia di saat-saat yang sepi dulu, bolehlah kalo kita sebut sebagai kebangkitan perfilman nasional (Tapi sampai sekarang gue belum menemukan momen-momen apa yang menjadi kebangkitan persinetronan nasional. Apakah sinetron-sinetron kita sudah berdiri dari dulu, atau... jangan-jangan... sampai sekarang emang belum pernah berdiri tapi hanya berhalusinasi bahwa mereka sudah berdiri? Mikirin gituan, jadi pengen makan tape sama cabe. Tape deh... cabe deh...). Tapi setelah itu, mungkin yang muncul hanya trend dan permintaan pasar. Atau bahkan... sudah menjadi budaya. Ngekor, njiplak, or whatever lah, pokoke yang kaya gitu. Trend, pasar, dan budaya, sepertinya sudah tipis sekali perbedaannya. Tidak heran kalau sekarang kita disodorkan dengan film-film yang biasanya mirip-mirip, apalagi sinetron. Parah. Kalau sinetron aslinya dari luar (biasanya sih dari korea dan sekitarnya) habis dalam 60 episode, versi Indonya bisa nyampe 2 kalinya. Ternyata kita jago ya dalam mencari masalah, maksudnya masalah buat manjang-manjangin durasi sinetron. Apakah ini karena trend, permintaan pasar, atau sekedar ngekor-ngekoran? Tau ah, emang gue pikirin? Gue nggak pernah nonton sinetron gituan.
Komentar terakhir, tulisan-tulisan di atas bukan harapan-harapan optimis maupun pesimis untuk dunia entertainment Indonesia (Buat gue yang penting kalo lagi nganggur ada film yang bisa ditonton). Bukan juga merupakan kritikan (Gue bukan pemerhati dunia perfilman dan persinetronan, apalagi praktisi. Gue cuma penikmat film dan sinetron yang menurut gue bagus, itu aja). Tapi, tulisan di atas hanya cuap-cuap alias celotehan anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang dunia entertaintment. Dan yang pasti, gue menulis karena gue punya waktu buat blogging sebelum jam 7.30. Setelah jam 7.30, gue sudah mulai kerja (Boong ding, pasti browsing dulu, nggak mungkin langsung kerja. Buka gmail, detik, kompas, republika, blog orang...dst).
Tuesday, March 27, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment